Berita

Mengenal Kata Kolok: Bahasa Isyarat Lokal dan Tantangan Pendidikan Inklusif di Indonesia

BRIN mengembangkan riset Kata Kolok, bahasa isyarat lokal dari Bali, guna memperkaya komunikasi Tuli dan mendukung pendidikan inklusif.

KamiBijak.com, Berita - Pengembangan riset bahasa isyarat lokal di Indonesia, termasuk Bahasa Kata Kolok dari Bali, menjadi langkah strategis untuk memperkaya sistem komunikasi komunitas Tuli dan mendukung pendidikan inklusif. Inisiatif ini dipelopori oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan dibahas dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) BRIN pada 3 Juni 2025.

Kata Kolok adalah bahasa isyarat alami yang berkembang secara turun-temurun di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa ini dikenal sebagai komunitas dengan konsentrasi genetik Tuli yang cukup tinggi. Kepala PR BSK BRIN, Ade Mulyanah, menjelaskan bahwa bahasa ini muncul sebagai bentuk adaptasi sosial, menjadi alat komunikasi utama tidak hanya bagi penyandang Tuli, tetapi juga masyarakat yang dapat mendengar.

Buku Kata Kolok ini membahas dan menguraikan bahasa isyarat Kata Kolok dalam ranah umum, kesehatan individu, dan kesehatan. (Foto : Dok Tatkala)

 

“Bahasa ini merupakan bentuk evolusi alami yang muncul dalam lingkungan sosial tertentu. Penelitiannya penting untuk memahami dinamika bahasa dan menyusun kebijakan pendidikan yang inklusif,” ujar Ade. Selain itu, riset ini bertujuan untuk mengembangkan metode pengajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (EFL) yang efektif bagi siswa Tuli, serta memperkuat identitas budaya mereka.

Charles Gaucher, peneliti dari Universitas de Moncton, Kanada, memaparkan bahwa sekitar 44 warga Bengkala mengalami ketulian, atau sekitar 1,5 persen dari populasi desa, angka yang jauh di atas rata-rata global. Ia menjelaskan bahwa prevalensi gen DFNB3 yang diwariskan secara turun-temurun menjadi penyebab utamanya.

Yang menarik, tidak hanya komunitas Tuli yang menggunakan Kata Kolok, tetapi juga masyarakat dengar, menciptakan sistem komunikasi yang benar-benar dua arah dan inklusif. Namun, Gaucher mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, penggunaan Kata Kolok mulai terpengaruh oleh masuknya pendidikan formal dan wisatawan asing. Penelitian kini berfokus pada bagaimana bahasa ini bertahan dan beradaptasi dengan sistem komunikasi lainnya.

Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Ni Luh Putu Sri Adnyani, mengangkat isu kesenjangan dalam pengajaran bahasa Inggris bagi siswa Tuli di Bali. Dalam temuannya, guru-guru di sekolah luar biasa (SLB) sering kali tidak memiliki pelatihan formal dalam pendidikan disabilitas dan mengandalkan sumber dari internet. Di sekolah, umumnya digunakan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI), sedangkan di luar sekolah siswa lebih terbiasa dengan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), yang menimbulkan kebingungan.

“Potensi siswa Tuli sangat besar jika pendekatannya tepat. Kita bisa memanfaatkan American Sign Language (ASL) yang referensinya banyak, sambil membangun platform pembelajaran yang menggabungkan SIBI dan Bisindo,” sarannya.

Yeni Yulianti dari PR BSK BRIN menambahkan pentingnya memahami perbedaan SIBI dan Bisindo. SIBI disusun berdasarkan struktur bahasa Indonesia lisan oleh komunitas dengar, sementara Bisindo tumbuh dari interaksi alami komunitas Tuli, dengan karakter yang lebih ekspresif dan inklusif.

“Bisindo mencerminkan identitas budaya Tuli di Indonesia. Ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bagian dari kehidupan mereka,” tutup Yeni. (Restu)

Sumber: Liputan6