Berita

Gugat UU Disabilitas, Dua Pengidap Penyakit Kronis Minta Perlindungan Setara di Mata Hukum

Mereka menuntut hak akses, perlindungan, dan akomodasi layak.

KamiBijak.com, Berita - Dua warga negara, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru, resmi menggugat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar pengidap penyakit kronis dimasukkan ke dalam kategori penyandang disabilitas, demi mendapatkan hak dan perlindungan hukum yang setara.

Permohonan yang tercatat dengan nomor 130/PUU-XXIII/2025 ini menyoroti tiga ketentuan dalam UU Penyandang Disabilitas, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan penjelasan Pasal 4 ayat (1). Pemohon menilai pengaturan yang berlaku saat ini belum mengakomodasi kondisi pengidap penyakit kronis yang juga mengalami keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai ulang agar mencakup orang dengan penyakit kronis yang menyebabkan gangguan jangka panjang terhadap fungsi fisik, mental, maupun aktivitas harian. Mereka juga mengajukan definisi baru untuk disabilitas, termasuk penyakit kronis sebagai salah satu ragamnya.

Raissa, salah satu pemohon, mengungkapkan bahwa sejak 2015 ia hidup dengan penyakit saraf kronis Thoracic Outlet Syndrome. Kondisi ini menyebabkan nyeri berkepanjangan di bagian tangan kanan, pundak, dan dada, yang berdampak pada fungsi geraknya. Ia mengaku tidak pernah mendapatkan akomodasi layak karena statusnya tidak tercatat sebagai penyandang disabilitas.

“Saya kesulitan mendapatkan aksesibilitas saat kuliah, bahkan harus menulis esai ujian padahal fungsi tangan terganggu. Gedung kuliah pun tidak memiliki lift,” ungkapnya.

Hal serupa dialami oleh Deanda Dewindaru, pengidap autoimun Guillain-Barre Syndrome sejak 2022. Ia menyebut penyakitnya menyebabkan kelelahan ekstrem dan keterbatasan mobilitas, namun tetap tak diakui sebagai disabilitas. Saat melamar pekerjaan CPNS, ia tidak bisa masuk dalam formasi disabilitas karena tak memenuhi definisi hukum.

Deanda menyoroti bahwa diskriminasi terhadap pengidap penyakit kronis tidak hanya terjadi dalam dunia pendidikan, tetapi juga di dunia kerja. Syarat “sehat jasmani dan rohani” dalam rekrutmen kerja menjadi hambatan besar bagi orang dengan kondisi seperti dirinya.

Menurut para pemohon, pengakuan penyakit kronis sebagai bagian dari disabilitas akan membawa perubahan besar. Ini akan membuka akses terhadap perlindungan hukum, akomodasi kerja dan pendidikan, hingga penghapusan perlakuan diskriminatif.

Mereka menegaskan bahwa penyakit kronis kerap menyebabkan gangguan signifikan dalam aktivitas harian, seperti merawat diri, bekerja, berinteraksi sosial, dan mobilitas. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kelompok ini juga mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang sama di bawah hukum.

Gugatan ini kini tengah diproses oleh MK dan menjadi sorotan publik, khususnya komunitas penyandang disabilitas dan pengidap penyakit kronis yang selama ini merasa tidak terwakili dalam kebijakan nasional. (Restu)

Sumber: Detik