Hiburan

Cinta Pertama Tak Terlupakan? Ini Fakta Ilmiah dan Filosofis di Baliknya

Benarkah cinta pertama tak bisa dilupakan? Di sini mengupas mitos populer tersebut dari sisi neurosains, psikologi, dan filsafat eksistensial.

KamiBijak.com, Hiburan - Sejak lama, cinta pertama sering digambarkan sebagai sesuatu yang tak tergantikan. Istilah “first love never dies” begitu melekat dalam budaya populer, membuat banyak orang mempertanyakan: benarkah cinta pertama tidak bisa dilupakan?

Cinta pertama biasanya terjadi di masa remaja atau awal dewasa, saat emosi meluap dan pencarian jati diri sedang berlangsung. Tak heran jika kenangan tersebut terasa membekas. Namun, menurut neurosains dan psikologi kognitif, ada penjelasan ilmiah mengapa cinta pertama begitu sulit dihapus dari ingatan.

Penelitian Buchanan (2007) tentang memori emosional mengungkapkan bahwa pengalaman yang mengandung emosi kuat memang lebih mudah tersimpan dalam otak. Tiga area utama terlibat: amigdala (emosi), hippocampus (penyimpanan ingatan), dan korteks prefrontal (penyunting memori saat dikenang ulang). Meskipun kerangka dasar kenangan tersimpan, detailnya bisa berubah seiring waktu, terutama jika seseorang aktif membangun pengalaman baru.

Selain itu, otak manusia cenderung bereaksi kuat terhadap hal-hal baru. Saat pertama kali jatuh cinta, hormon seperti dopamin dilepaskan dalam jumlah besar, menciptakan euforia yang sulit dilupakan. Kita pun secara tidak sadar mengidealkan masa itu, sebuah fenomena yang disebut romantic nostalgia, menyaring yang negatif dan menyimpan hanya momen positif.

Namun, pakar hubungan Lori Jean Glass mengingatkan bahwa kita tak benar-benar mengingat cinta pertama sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana kita ingin mengingatnya. Artinya, memori itu seringkali sudah terdistorsi.

Penelitian Rauer dkk. (2013) menunjukkan bahwa kebanyakan orang menjalani beberapa hubungan sebelum menemukan pasangan yang tepat. Cinta pertama hanyalah satu bagian dari perjalanan panjang tersebut. Justru, hubungan di usia dewasa yang didasari komitmen dan keselarasan nilai cenderung lebih dalam dan bertahan lama.

Dari sisi filsafat eksistensial, Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness menyatakan bahwa manusia bukanlah produk masa lalu, melainkan hasil dari pilihan dan tindakan hari ini. Terlalu larut dalam cinta pertama bisa menjadi bentuk bad faith, penyangkalan atas potensi diri untuk berkembang. Nietzsche juga memperingatkan bahwa mengagungkan masa lalu hanya akan menghambat kita untuk menjadi versi terbaik diri sendiri (Übermensch).

Kesimpulannya, cinta pertama bukanlah sesuatu yang tidak bisa dilupakan. Otak kita dirancang untuk beradaptasi, dan hati kita punya kapasitas luar biasa untuk mencintai lagi, bahkan lebih dalam dan dewasa. Kenangan boleh ada, tetapi bukan berarti harus mengendalikan masa depan kita.

Jadi, bagi siapa pun yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta pertama, ketahuilah bahwa cinta sejati bukan hanya soal siapa yang pertama, tapi siapa yang bertahan dan tumbuh bersama. Jangan biarkan mitos menahan langkahmu untuk menciptakan kisah cinta terbaik hari ini. (Restu)

Sumber : Kumparan