Berita

Tantangan Biaya Tambahan Penyandang Disabilitas dan Urgensi Kebijakan Tunjangan Nasional

Penyandang disabilitas menghadapi biaya hidup tambahan yang tinggi demi aksesibilitas dasar dan belum ada kebijakan tunjangan nasional.

KamiBijak.com, Berita - Penyandang disabilitas di Indonesia menghadapi tantangan finansial yang tidak dialami oleh masyarakat umum. Mereka harus mengeluarkan biaya tambahan, yang dikenal sebagai extra cost of disability, demi memenuhi kebutuhan dasar seperti mobilitas, komunikasi, pendidikan, kesehatan, serta peralatan pendukung. Biaya ini bukan pilihan, melainkan keharusan agar mereka bisa menjalani kehidupan yang layak.

Sayangnya, hingga kini belum ada skema tunjangan nasional yang sistematis untuk membantu meringankan beban tersebut. Menurut Ayu Puspita Ningrum, mahasiswi Master of Public Policy di Australian National University, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Konsesi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum juga disahkan, meski undang-undang tersebut telah disahkan sejak sembilan tahun lalu. Padahal, RPP ini merupakan langkah awal yang krusial untuk menghadirkan bentuk tunjangan atau pengurangan beban biaya dasar bagi komunitas disabilitas.

Dalam sebuah webinar Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK) pada 2 Juli 2025, Hendry Hernowo, Ketua Forum Inklusi Disabilitas Kabupaten Magelang dan penyandang disabilitas netra parsial, menceritakan pengalaman hidupnya. Tinggal di pedesaan berbukit, ia harus mengeluarkan biaya besar untuk transportasi dan alat bantu seperti perangkat pembaca layar agar bisa bekerja dan menjalani rutinitas.

Salah satu masalah besar yang dihadapi adalah sistem pendataan. Melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), banyak penyandang disabilitas dikategorikan sebagai "mampu" hanya karena pengeluaran mereka tinggi. Padahal, biaya tersebut berasal dari kebutuhan aksesibilitas yang tidak bisa ditunda. Akibatnya, banyak penyandang disabilitas tidak lagi memenuhi syarat untuk menerima bantuan sosial seperti PBI BPJS Kesehatan.

Ironisnya, negara memiliki skema tunjangan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), namun tidak bagi penyandang disabilitas yang setiap hari harus menanggung biaya hidup tambahan.

Permasalahan lain adalah alat bantu disabilitas yang sebagian besar harus diimpor dan dikenakan pajak tinggi, padahal alat-alat ini sangat penting untuk menunjang kemandirian dan produktivitas.

Herman Wahidin, kandidat doktor di University of Melbourne dan co-founder SCI United Indonesia, menyoroti pengalaman hidup penyandang cedera tulang belakang (Spinal Cord Injury atau SCI). Mereka memerlukan peralatan khusus untuk buang air kecil dan besar seperti kateter, popok dewasa, dan obat pencahar. Biaya lain termasuk pengobatan luka tekan dan infeksi saluran kemih, yang jika tidak ditangani, dapat berujung pada komplikasi serius bahkan kematian.

“SCI sering kami plesetkan menjadi Super Cost Injury karena tingginya biaya hidup yang terus-menerus harus ditanggung,” ungkap Herman.

Bagi penyandang SCI yang tinggal di pelosok, akses terhadap transportasi dan layanan medis jauh lebih sulit dibandingkan mereka yang tinggal di kota, memperparah ketimpangan akses dan risiko kesehatan yang dihadapi. (Restu)

Sumber:  Liputan6