
Membandingkan Akses Disabilitas: Indonesia dan Malaysia Menuju Masyarakat Inklusif
Perbandingan aksesibilitas penyandang disabilitas di Indonesia dan Malaysia menunjukkan kemajuan sekaligus tantangan.
KamiBijak.com, Berita - Pembina Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Ratna Suryana, baru-baru ini membagikan pengalamannya saat menilik aksesibilitas penyandang disabilitas di Malaysia. Dari kunjungan tersebut, Ratna kemudian membandingkan bagaimana kebijakan dan praktik di negeri Jiran berbeda dengan situasi di Indonesia.
Menurut Ratna, definisi penyandang disabilitas di Malaysia, yang disebut dengan istilah Orang Kurang Upaya (OKU), secara garis besar tidak jauh berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas di Indonesia. Bedanya, Malaysia membagi disabilitas ke dalam tujuh kategori, sementara Indonesia menetapkan empat ragam disabilitas. Perbedaan klasifikasi ini menunjukkan bagaimana setiap negara mencoba memberikan kerangka hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Namun, hal yang lebih mencolok terlihat pada praktik keseharian. Ratna mencontohkan, di Malaysia masyarakat sudah terbiasa memberikan prioritas kepada penyandang disabilitas, seperti mendahulukan mereka saat menggunakan lift. Gestur sederhana ini mencerminkan budaya inklusi yang kuat, sesuatu yang menurutnya masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Meski begitu, Ratna mengapresiasi upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia. Beberapa fasilitas umum kini sudah mulai ramah bagi penyandang disabilitas, misalnya dengan penyediaan informasi dalam bentuk visual maupun suara di ruang publik. Moda transportasi modern seperti MRT juga sudah memperhatikan aksesibilitas, meskipun masih perlu diperluas ke berbagai wilayah.
Dari sisi pendidikan, Ratna menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam mewujudkan lingkungan inklusif. Universitas, kata dia, tidak hanya sebatas menyatakan menerima mahasiswa disabilitas, tetapi juga harus menyiapkan infrastruktur, kurikulum, hingga tenaga pendidik yang memahami kebutuhan mereka. Tanpa kesiapan tersebut, penerimaan mahasiswa disabilitas hanya bersifat simbolis.
Pandangan serupa disampaikan oleh Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC), Zulhamka Julianto Kadir atau akrab disapa Anto. Ia menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi ruang hidup yang benar-benar mendukung semua individu tanpa diskriminasi. Artinya, mulai dari proses penerimaan mahasiswa, kurikulum, metode pembelajaran, hingga sistem penilaian harus disesuaikan agar inklusivitas tidak hanya sebatas formalitas.
Anto juga menyoroti bahwa secara regulasi, Indonesia sebenarnya sudah memiliki landasan hukum yang cukup, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dukungan pendanaan dan jalur pendidikan juga tersedia. Tantangannya kini adalah memastikan regulasi tersebut dapat dieksekusi dengan cepat dan efektif, sehingga penyandang disabilitas punya kesempatan lebih luas untuk mengakses pendidikan tinggi dan berkontribusi di sektor formal.
Lebih lanjut, Anto mengapresiasi langkah Universitas Padjadjaran (Unpad) yang telah membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD). Menurutnya, inisiatif ini patut diapresiasi karena belum banyak kampus yang memiliki mekanisme serupa. Keberadaan ULD menunjukkan adanya keterlibatan langsung kelompok disabilitas dalam menyusun kebijakan kampus, sebuah langkah nyata menuju inklusi pendidikan tinggi.
Sebagai pengguna kursi roda, Anto menilai Unpad sudah memulai proses penting menuju kampus inklusif. Ia berharap inisiatif seperti ini dapat menjadi contoh bagi universitas lain di Indonesia. Dengan begitu, penyandang disabilitas bisa memperoleh akses yang lebih setara dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. (Restu)
Sumber: Liputan6
Video Terbaru




MOST VIEWED




