Berita

Memberdayakan Perempuan Tuli-Buta: Mengenali Kekerasan dan Meningkatkan Akses Perlindungan Hukum

Seminar oleh Yayasan Pelita dan LBH APIK Jakarta hadir untuk edukasi dan perlindungan hukum perempuan Tuli-Buta dari kekerasan berbasis gender.

KamiBijak.com, Berita - Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya perempuan dengan disabilitas ganda seperti Tuli-Buta, menjadi perhatian serius berbagai pihak. Menanggapi hal ini, Yayasan Pemberdayaan Tuli-Buta Indonesia, atau Pelita, berinisiatif menyelenggarakan seminar edukatif bertajuk “Bentuk-Bentuk Kekerasan bagi Perempuan Tuli-Buta dan Cara Menanganinya” pada Jumat, 9 Mei 2025, di Kantor Grab, Jakarta Selatan. Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman komunitas Tuli-Buta mengenai jenis-jenis kekerasan dan jalur hukum yang dapat diakses.

Perempuan Tuli-Buta adalah individu yang mengalami hambatan pada dua indera utama, yakni pendengaran dan penglihatan. Disabilitas ini sangat memengaruhi cara mereka berkomunikasi, memperoleh informasi, dan berinteraksi dengan dunia luar. Dalam konteks kekerasan berbasis gender, mereka termasuk kelompok yang sangat rentan.

Kerentanan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah minimnya akses terhadap informasi tentang hak-hak hukum dan perlindungan diri. Selain itu, keterbatasan komunikasi sering membuat perempuan Tuli-Buta kesulitan melaporkan kekerasan atau menjelaskan pengalaman mereka. Banyak dari mereka juga tergantung pada pihak ketiga untuk kebutuhan sehari-hari, yang dalam beberapa kasus justru bisa menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.

Bentuk kekerasan yang dialami perempuan Tuli-Buta bisa sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, hingga kekerasan struktural yang timbul akibat kurangnya layanan publik yang inklusif. Sayangnya, banyak dari bentuk kekerasan ini tidak terlaporkan atau tertangani karena korban tidak memiliki akses pada mekanisme pelaporan maupun pendampingan hukum yang tepat.

Dalam seminar tersebut, dua narasumber utama hadir memberikan wawasan penting. Revita Alvi, Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), menyampaikan berbagai bentuk kekerasan yang kerap terjadi dan bagaimana mengenalinya. Menurut Revita, tanda seseorang mengalami pelecehan bisa dikenali dari rasa tidak nyaman, seperti saat disentuh tanpa persetujuan. “Kalau kamu tidak nyaman, itu artinya sudah ada bentuk kekerasan seksual,” ujarnya.

Sementara itu, Uli Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta, memberikan panduan praktis dalam menghadapi kekerasan. Ia menyarankan agar korban tidak takut untuk melapor. “Mulailah dengan mendokumentasikan bukti, membuat kronologi kejadian, dan segera cari bantuan hukum. LBH APIK siap mendampingi,” tegasnya.

Seminar ini bertujuan untuk membekali perempuan Tuli-Buta dengan pengetahuan dan kepercayaan diri agar mereka bisa mengenali kekerasan, memahami hak-haknya, dan mengambil tindakan yang tepat. Selain itu, acara ini juga mendorong komunitas Tuli-Buta untuk lebih aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka serta berperan sebagai penggiat dalam isu disabilitas dan perlindungan perempuan.

Dengan kegiatan seperti ini, diharapkan kesadaran akan pentingnya perlindungan perempuan disabilitas meningkat, dan sistem hukum di Indonesia semakin inklusif dalam memberikan keadilan bagi semua. (Restu)

Sumber: Liputan per Jumat 9 Mei 2025.