Berita

Bagaimana Proses Penanganan Kasus Pidana Jika Melibatkan Disabilitas Intelektual?

Jika melibatkan disabilitas intelektual, penyidik tidak dapat langsung bertanya kepada korban disabilitas, harus melalui keluarga atau kerabat.

KamiBijak.com, Berita - Penanganan kasus tindak pidana yang melibatkan seorang penyandang disabilitas intelektual baik dalam posisi sebagai korban, saksi atau pelaku nyatanya tidak bisa disamaratakan dengan penanganan tindak pidana umum yang lain. Menurut salah satu advokat yang sudah banyak membela kasus pidana penyandang disabilitas, Happy Sebayang, tetap harus ada penyesuaian.

"Harus menyertakan pendamping dari keluarga atau kerabat dekat mereka, tidak dilakukan dengan cara di BAP, dan polisi tidak perlu memakai seragam ketika menyelidik atau menyidik kasus tersebut," ucap Happy Sebayang dalam Webinar yang diinisiasi Perhimpunan Jiwa Sehat soal "Penguatan Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana", Selasa 3 Juni 2025.

Menurut Happy, dalam melakukan pemberkasan berita acara pemeriksaan, baik polisi maupun penyandang disabilitas intelektual yang terlibat sebagai korban, saksi atau pelaku tidak bisa duduk dalam sebuah ruangan formal seperti pemeriksaan pada umumnya.

"Penyidik duduk di samping keluarga atau pengacara penyandang disabilitas intelektual , kemudian mencatat dan mengambil intisari dari pembicaraan antara keluarga dengan penyandang disabilitas," ungkap Happy.

Dalam proses pemeriksaan tersebut, penyidik kepolisian tidak bisa langsung bertanya pada korban, melainkan harus menitipkan pertanyaan kepada keluarga atau rekan korban. Nantinya, inti dari percakapan yang dikomunikasikan oleh pihak keluarga kepada disabilitas intelektual inilah yang kemudian akan dijadikan berita acara pemeriksaan.

"Sehingga saya menyimpulkan, penanganan kasus korban dengan disabilitas intelektual memerlukan pendekatan personal, pelibatan keluarga atau kerabat dekat serta perlu penyesuaian khusus dalam proses pemeriksaannya seperti menggunakan bahasa sederhana, lebih seperti sahabat yang sedang mengobrol untuk menggali lebih dalam keterangan korban," katanya.

Sementara itu, Penyidik Tindak Pidana Muda Tingkat I, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Endang Sri Lestari mengungkapkan, bahwa saat ini Direktorat PPA dan PPO sudah mulai menyusun beberapa panduan jika disabilitas harus berhadapan dengan hukum. Meskipun belum semua aksesibilitas yang diperlukan yang ada di kantor kepolisian bisa memadai.

"Tapi kami berusaha untuk memenuhi penyediaannya seperti bidang miring, kamar mandi yang terakses bagi penyandang disabilitas, hingga lift yang memiliki tombol braille," katanya di forum yang sama.

Meskipun demikian, Endang mengakui bahwa penyandang disabilitas memang belum bisa sepenuhnya dilibatkan sebagai subjek hukum. Alasannya, karena masih banyak personil kepolisian yang belum paham mengenai pemenuhan kebutuhan akses yang layak bagi penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum.

"Nah memang ini masih menjadi kendala, masih kurang diakuinya sebagai subjek hukum karena petugas kami masih banyak yang belum tahu apa saja kebutuhan dan akomodasi yang layak dan benar-benar dibutuhkan penyandang disabilitas," kata Endang. (Irene)

Sumber : tempo.co