Berita

Mahasiswa Disabilitas Mental dan Fisik Hadapi Diskriminasi di Kampus: Dukungan Inklusif Masih Minim

Tingkat drop out mahasiswa dengan disabilitas mental capai 50%. Minimnya dukungan kampus membuat mereka menghadapi diskriminasi.

KamiBijak.com, Berita - Mahasiswa dengan disabilitas mental sering kali tidak terlihat berbeda dengan mahasiswa non-disabilitas. Namun, di balik itu, mereka menghadapi tantangan yang sama beratnya seperti penyandang disabilitas fisik maupun sensorik. Sayangnya, dukungan dari perguruan tinggi masih jauh dari memadai.

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti, mengungkapkan bahwa angka dropout (DO) mahasiswa dengan disabilitas mental mencapai lebih dari 50 persen. Menurutnya, tingginya angka ini bukan karena kurangnya kemampuan akademik, melainkan minimnya pemahaman serta dukungan kampus.

“Yang dibutuhkan mahasiswa dengan disabilitas mental adalah akomodasi layak, fleksibilitas waktu ketika relapse, dukungan dalam ujian maupun tugas, serta perlindungan ketat terhadap data pribadi mereka,” ujar Yeni dalam acara Lunch Talk #3 Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK) pada 6 Agustus 2025.

Yeni menegaskan, stigma yang melekat membuat data disabilitas mental tidak boleh disebarkan sembarangan. Sayangnya, kesadaran tentang hal ini masih rendah, sehingga mahasiswa seringkali tidak mendapat fasilitas sesuai kebutuhan.

Cerita Nyata Mahasiswa Disabilitas

Kisah perjuangan juga datang dari mahasiswa dengan disabilitas fisik dan sensorik. Syifa Urrachmah, seorang guru Bimbingan Konseling sekaligus aktivis disabilitas dari Aceh, menceritakan bagaimana dirinya menjadi satu-satunya mahasiswa tunanetra di kampusnya. Ia mengikuti SBMPTN tanpa jalur afirmasi disabilitas, menghadapi sistem pendaftaran daring yang tidak ramah akses, hingga harus mengerjakan soal ujian dengan Lembar Jawaban Komputer (LJK) menggunakan pendampingan.

Sementara itu, Aisyah Ardani, pegiat pendidikan inklusi yang akrab disapa Ais, menghadapi diskriminasi sejak awal mendaftar kuliah di kampus swasta. Status disabilitasnya tidak tercatat, bahkan ia sempat diminta pindah jurusan karena gedung pilihannya tidak ramah akses. Namun, Ais menolak menyerah. Baginya, mahasiswa tidak seharusnya dipaksa menyesuaikan diri dengan sistem yang diskriminatif.

Pekerja sosial dari Yayasan PerDIK, Muhammad Luthfi, juga menyoroti praktik kampus yang secara tidak langsung “menggiring” mahasiswa disabilitas ke jurusan tertentu setelah mereka mencentang status disabilitas. Menurutnya, praktik ini justru memperkuat stigma bahwa kebutuhan mahasiswa disabilitas sama rata, padahal setiap individu memiliki kebutuhan berbeda.

Rasa Takut dan Bentuk Diskriminasi

Di balik keberanian mereka menempuh pendidikan tinggi, banyak mahasiswa disabilitas menyimpan ketakutan. Mulai dari takut tidak punya teman, takut tidak diterima dalam organisasi mahasiswa, hingga khawatir dianggap tidak setara.

Syifa bahkan sempat menyembunyikan status tunanetra dari dosennya karena takut mendapat perlakuan berlebihan. Ais pun merasa menjadi pusat perhatian hanya karena menggunakan kursi roda.

Pengalaman yang mereka alami bukan sekadar “tantangan,” melainkan bentuk diskriminasi nyata. Ais mengingat bagaimana ia terpaksa memanjat dari lantai satu ke lantai tiga karena gedung tidak memiliki lift, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di lingkungan pendidikan tinggi.

 

Harapan untuk Kampus Inklusif

Berbagai pengalaman ini menunjukkan bahwa kebutuhan mahasiswa disabilitas sangat beragam, mulai dari akses bangunan, guiding block, toilet ramah difabel, rute aman menuju kelas, hingga materi pembelajaran yang kompatibel dengan screen reader.

“Seharusnya kampus menyesuaikan jadwal dan ruang kelas agar bisa diakses semua orang. Kampus perlu hadir sebagai mitra perubahan, bukan menuntut mahasiswa menyesuaikan diri dengan sistem yang diskriminatif,” tegas Ais.

Jika perguruan tinggi tidak segera melakukan perubahan, kesempatan pendidikan yang seharusnya setara akan terus menjadi beban berat bagi mahasiswa dengan disabilitas di Indonesia. (Restu)

Sumber: Liputan6